Kamis, 05 April 2012

==> http://www.facebook.com/notes/maiya-azyzaa/novel-bidadari-bidadari-surga-bagian-4/247925978623185

BIDADARI-BIDADARI SURGA by Tere Liye
BAGIAN 4
TITIPAN KAOS BOLA

PESAWAT AIRBUS 3320 milik maskapai penerbangan Italiano Sky itu
melesat membelah pesisir Eropa. Malam hari. Pukul 19.30 di sini. Speaker di
pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut menyapa
penumpang: "... Signore e signori, Vaereo atterera tra 5 minuti all'aeroporto di
Roma. Si prega di allaciare di cinture di skurezza... Informiamo i signori
pesseggeri che e tra Giacarta e Roma vi sono sette ore di differenza….. Senior
& Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara Roma lima menit lagi.
Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan Roma"
"Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya.
Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?"
Wibisana mengangguk.
Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah.
Bahkan bekas luka kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan,
yang satu di sebelah kiri. Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar
dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka
berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar
identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas
bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33
tahun. Menariknya, meski Ikanuri lebih muda, dia lebih dominan dalam urusan
apapun dibanding Wibisana. Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah
yang menjadi kakak.
"Kau mimpi apa?" Wibisana tertawa melihat wajah Ikanuri yang
mengernyit, berusaha mengusap-usap matanya yang sedikit merah.
"Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai sapu lidi! Sialan, kali ini ia
berhasil memukul pantatku! Sakit sekali — " Ikanuri menjawab seadanya,
nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.
Demi mendengar celetukan adiknya, Wibisana tertawa lebih lebar. Bagian
itu kenangan masa kecil favorit mereka, olok-olok masa lalu yang
menyenangkan untuk diingat, meski telah berkali-kali diingatnya. Nyengir
lebar. Sementara Ikanuri sudah sibuk merapikan kemeja biru yang
dikenakannya. Membungkuk memasang tali sepatu. Tadi sengaja dilepas, agar
bisa rileks tidur di kursi penerbangan kelas ekonomi, yang tempat duduknya
ekstra sempit buat penerbangan jarak jauh.
"Ini apa?" Wibisana mendorong pelan laptop di atas tatakan meja, ikut
membungkuk, mengambil kertas yang tidak sengaja jatuh dari saku kemeja
Ikanuri saat memasang tali sepatu.
"Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah!"
"Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur
Colloseum, 4. Miniatur Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola
Totti, 7, Kaos bola Materazzi, 8. Kaos bola Zidane," Wibisana tertawa kecil
lagi, menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu, "Haha,
bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main
bola lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol,
bukan? Sudah pension pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di sini—"
"Mana pula anak itu akan peduli," Ikanuri menerima kertas pesanan
tersebut dari Wibisana, melipatnya. "Kau tahu, Juwita seminggu terakhir
sengaja benar membuka buku pintarnya tentang Italia. Mendaftar semua
pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos-kaos
bola ini. Buat apa coba Juwita titip kaos bola, jelas-jelas ia anak perempuan,
kan? Titipannya kali ini benar-benar akan merepotkan. Mungkin tidak semua
akan bisa kubelikan..."
"Kalau begitu, bersiap-siaplah melihat wajah sok merajuknya saat kau
nanti pulang!" Wibisana nyengir lebar, "Anak itu memang pintar membuat
orang lain susah.... Pandai menipu. Jago pura-pura merajuk. Haha, mirip benar
dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri mengusap rambut. Ikutan nyengir. Bergumam dalam hati,
Wibisana pasti juga mengantongi daftar puluhan pesanan yang sama dari
Delima, anaknya. Bukankah kemarin Juwita bilang, ia mengirimkan daftar
pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka yang berumur enam
tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian, meski
sering sekali justru sibuk bertengkar saat sedang bermain bersama. Sebenarnya
perangai Delima-Juwita memang copy-paste perangai ayah-ayah mereka berdua
waktu kecil dulu.
Pesawat Boeing kapasitas dua ratus penumpang itu bersiap meluncur ke
landasan bandara. Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai
jendela. Menawan. Wibisana melipat laptopnya.
"Kau sudah selesaikan revisi presentasinya?"
Wibisana mengangguk mantap, "Kali ini, petinggi pabrik itu tidak akan
menolak.... Kita akan memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan
perusahaan dari China itu!"
Ikanuri mengangguk kecil. Memasukkan kertas pesanan gadis kecilnya ke saku. Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting.
Pembicaraan besok pagi di salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo
akan menentukan rencana ekspansi pabrik kecil milik mereka. Sebenarnya
dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak ada apa-apanya.
Pabrik butut itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil. Mereka hanya punya
modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri
segala. Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel.
Keras kepala. Di samping tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-
keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil memegang
sapu lidi, memarahi mereka.
Sejak kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak. Kakak-beradik yang
selalu bisa saling mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-
sama. Menyelesikan tender hak pembuatan sasis salah-satu mobil balap
tersohor produksi Italia. Seperti biasa, pesaing mereka (juga pesaing
pengusaha-pengusaha lokal lainnya), datang dari negeri Panda, China. Mereka
sejak kecil selalu berdua. Tidak terpisahkan. Sekarang saja rumah mereka
berseberangan jalan. Dengan istri dan satu gadis kecil usia enam tahun masing-
masing. Delima dan Juwita. Bahkan, percaya atau tidak, Ikanuri dan Wibisana
menikah di hari, tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir
di hari yang sama. Jadi meski tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan
Wibisana lebih dari 'kembar'.
Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu mendarat dengan
mulus di landasan. Penumpang yang seratus persen sudah terjaga bergegas
menurunkan tas-tas dari bagasi. Bersiap turun setelah penerbangan belasan jam.
Menggerak-gerakkan badan. Berusaha mengusir pegal.
"Biar aku saja yang menghubungi mereka!" Ikanuri yang melihat
Wibisana mengeluarkan HP-nya, ikut mengeluarkan dua telepon genggam
miliknya. Satu untuk urusan bisnis. Satu untuk urusan keluarga. Dua-duanya
dikeluarkan. Perlahan menekan tombol ON. Menyalakannya. Tadi saat
keberangkatan, galak sekali pramugari pesawat menyuruh penumpang
mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel soal
beginian. Mereka lupa, maskapai yang mereka naiki bukan maskapai domestik
kelas kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.
"Mereka berjanji menjemput di bandara, bukan?" Wibisana duduk
kembali, membiarkan penumpang lain bergegas turun duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti akan menjemput kita. Kalau
tidak, paling sial kita nyasar lagi di negeri orang, haha," Ikanuri tertawa,
menunggu dua telepon genggamnya booting. Dua detik berlalu. Lantas
menekan phonebook.
Tetapi sebelum dia melakukannya, HP untuk urusan keluarganya keburu
bergetar duluan. SMS. Juga bergetar di saat bersamaan HP milik Wibisana. Itu
juga HP urusan keluarga. Siapa? Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Saling
bersitatap satu sama lain. Siapa yang mengirimkan SMS? Hanya ada enam
orang yang tahu nomor itu, dan mereka berdua diantaranya.
Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan tepatnya Ikanuri dan Wibisana
barusan. Tapi lebih tepat: ada apa? Apa yang terjadi? Wajah mereka berdua
mendadak mengeras, cemas, SMS? Ini pasti Mamak Lainuri. Yang lain pasti
selalu menelepon jika ada urusan penting. Bukankah seumur-umur Mamak
tidak pernah mengirimkan SMS. Menggunakan HP-nya saja, Mamak tak mahir
benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.
Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit terburu-buru menekan tombol open.
Gagap membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir. Terdiam. Lantas
bersitatap lemah satu sama lain lagi. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap.
Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 198 penumpang beranjak turun. Dan
seperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan melangkah mendekati
pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan. Lupa sudah
dengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting,
besok pagi. Lupa dengan segalanya.
Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta
questa sera?"
Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam ini juga?

BERSAMBUNG..,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar