Kamis, 05 April 2012

==> http://www.facebook.com/notes/maiya-azyzaa/novel-bidadari-bidadari-surga-bgian-3/247338275348622

BIDADARI-BIDADARI SURGA by Tere Liye

BAGIAN 3


"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir?

Hari kiamat? Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi

siapapun yang masih mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli

dari kitab suci agama manapun, berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu

sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan membahas soal mirip tidaknya, itu

urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang menjelaskan kalau

sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika terbaru

kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"

"Salah satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar

peperangan besar, yang dikenal beberapa agama lain dengan sebutan

Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan. Penguasaan wilayah.... Menarik.

Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin pernah melipat dahi,

bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai riwayat sahih

terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan dengan

pedang, dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan

menemukan berbagai translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan

satu.... Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari

ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit? Senjata kimia? Bioteknologi?

"Bagi semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir

jaman, bukankah seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran

konvensional? Berita tentang ulat-ulat yang dikirimkan dari langit? Keluarnya

dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh air sungai yang mereka lewati?

Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf jika ini terlalu

detail—" Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta simposium yang datang

dari sekutu Negara bersangkutan tidak terlalu berkeberatan dengan kalimat itu,

lebih asyik melihat layar LCD raksasa di depan.

"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal

senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan

Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai sudah! Bagaimana

mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa menggunakan teknologi

hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun, atau ribuan

tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata

saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua

tiga rudal berhulu nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau

jangan-jangan dua tiga ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa

membuat koloni pertama di Mars! Jangan-jangan maksud peperangan tersebut

adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan Ma'juj yang dikurung

di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini kita tidak tahu di

mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal

bukan—"

"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari bagaimana menafsirkan berbagai translasi religius ini, sepertinya kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan

tadi amat berlebihan, sejauh ini belum ada buktinya. Kabar peperangan besar

tersebut sepertinya memang akan sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu.

Saya menyimpulkan demikian: sesederhana itu...”

“Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak digunakan

saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah

diakumulasi beratus-ratus tahun oleh manusia? Apakah seolah-olah kemajuan

ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika hari kiamat tiba,

peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apa adanya?" Dalimunte

diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.

Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium dengan berbagai

pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak. Terus menyajikan

dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda dari berbagai kitab suci lainnya.

Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu mengerti transkripsi religius

yang terpampang di layar raksasa LCD menandai besar-besar catatannya

(berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama seperti dengan

beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti

tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science'

sebelumnya.

Ruangan besar simposium fisika itu lengang, hanya suara pulpen

menggores kertas yang terdengar.

"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik

turun? Hadirin, jawabannya adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka peradaban

manusia persis seperti roda. Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya.

Ada suatu masa, ketika kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya,

manusia menguasai teknologi-teknologi hebat, lantas entah oleh apa, mungkin

karena peperangan, bencana alam, atau karena entahlah, di masa-masa

berikutnya kembali meluncur ke titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir

sejenak, siapa bilang ribuan tahun silam manusia masih primitif? Masih

boddoh? Tidak mengenal teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke

bulan, dan sebagainya?

"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta religius yang tertulis indah di kitab

suci: Salah seorang sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin

yang mengenalnya dengan nama itu. Saya garis bawahi, saat itu, seorang

manusia, pernah bisa memindahkan dalam sekejap sepotong kursi dari satu titik

ke titik lainnya yang berjarak ratusan kilometer sebelum mata sempat berkedip!

Seorang manusia.”

“Spektakuler! Anda tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi

sehebat itu hari ini! Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan

peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun

itu wahana dan caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah

ketinggalan kaki, tangan, atau telinga—" Dalimunte menyeringai.

Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.

".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data.

Jaringan telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi

memindahkan fisik sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak

mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun

berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya dan kita sekadar

mempercayai kalau itu kondisi luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah

kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah.

Tentu saja ada penjelasan masuk akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada

penjelasan ilmiahnya, kita saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan

pemah tahu.

“Nah, masalahnya kenapa kita tidak mewarisi penjelasan penting

tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena peradaban, kemajuan teknologi itu

persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam, masa-masa itu, manusia

pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut, malah mungkin pernah

memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk menjelaskan

bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B

kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu pengetahuan itu kemudian

musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia kembali lagi ke titik

terendahnya....

“Analog dengan hal itu, dan akan dibuktikan dengan serangkaian

penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan jika saat dunia

menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan senjata-senjata hebat yang

ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia kembali ke peperangan

dengan tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional. Itu benar-benar

masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai translasi religius ini....

“Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah: oleh apa? Oleh apa kita

akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi canggih tersebut?

Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah poin

terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan

menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan

elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati—"

Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak. Tersenyum. Meraih gelas

besar di hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk. Membasahi

kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di langit-

langit ruangan. Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu

gagasan hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang

akan disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat Dalimunte telah

meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang terpampang di

layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte

malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang

memegang pointer layar LCD.

Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar.

"Maaf, sebentar—" Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta

simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil sekali. Dia punya dua telepon

genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang lazimnya

dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan

keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang

tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa?

Keliru. Bukan dari siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun:

ada apa? Apa yang sedang terjadi?

Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas.

Sedikit terburu-buru meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus

dengan SMS? Jika penting bukankah bisa langsung menelepon? Itu berarti

Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak pandai benar berbicara lewat

HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak menatap layar HP, Dalimunte

gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap membaca kalimatnya.

Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam lagi satu detik. Dua

detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan

speaker. "Maaf. Cukup sampai di sini— "

Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. Seketika.

Gaduh. Seruan-seruan kecewa.

Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si

moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba

bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut

mendekat, ingin tahu. Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz

kamera wartawan yang sejak tadi rakus membungkus tubuhnya. Tidak peduli.

Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan istrinya yang

berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah keluar

dari ruangan. Bergegas.

Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium

internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?



BERSAMBUNG..,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar