Senin, 30 April 2012
Saat Sayyidina Ali Telat Subuh Berjamaah
Dini hari itu Ali bin ABi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru Kota Madinah.Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.
Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.
Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.
Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”
Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”
“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engaku rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”
Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”
Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”
Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi saw., “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda artike ini bermanfaat
Sumber : Dakwatuna.com
Dini hari itu Ali bin ABi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru Kota Madinah.Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.
Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.
Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.
Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”
Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”
“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engaku rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”
Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”
Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”
Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi saw., “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda artike ini bermanfaat
Sumber : Dakwatuna.com
Facebook bertanya, “ Apa yg Anda pikirkan..?!”
Kami menjawab, “
Haruskah kami menuliskan semua yg kami pikirkan..?! Hingga orang-orang
tahu, apakah kami itu pengeluh,suka berkeluh kesah, pencerca, lemah,
pecinta dunia, ataukah yg lainnya..!!
Atau sampai kami membuka aib- aib kami, yg mana Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah sembunyikan dari selain kami.. ?!”
Wallahul Musta'an...
NB : STOP !,
Jangan Jadikan FB Sarana buku harian Kita, tapi Jadikanlah ia Sebagai
ladang kebaikan (itupun Haruslah dengan Ilmu, Dalil dan Hujjah)...
Karena ILMU lah yg membenarkan Ni'at dan ni'at membenarkan amal...
Ingatlah, Penulisan Statusmu adalah Harga dirimu....
ya Ikhwah fillah (Barakallahu fiykum)...
Imam Al- Bukhari Rahimahullah berkata :
Al-Ilmu Qobla al-Qouli Wal-'Amali {Berilmu sebelum Berucap dan Beramal),
Kaidah ini diambil Beliau dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yg artinya) :
Ketahuilah, bahwasanya tidak ada sesembahan yg berhak disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu).
(Ushuuluts Tsalaatsah, Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab Rahimahullah). Syaikh Abdurrahman An- Najdi Rahimahullah berkata:
Penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengambil dalil
dgn Surat Muhammad,Ayat 19 yg mulia ini atas wajibnya memulai dengan
berilmu sebelum berkata dan beramal, sebagaimana Imam Al- Bukhari
Rahimahullah mengambil kaidah Ushul Fiqh didalam Muqaddimah Kitab
Shahihnya (Bab : Ilmu )
dari dalil dgn ayat tersebut atas kebenaran dari apa yg beliau memberi judul Bab
dengannya. Dan demikian, bahwasanya Allah Ta'ala memerintah Nabi-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dua perintah, dengan berilmu
kemudian beramal. Dan memulai perintah dgn berilmu dalam Firman-Nya :
'' fa'lam annahuu Laaaaailaaha illallahu ''
kemudian mengiringi perintah dengan beramal dalam Firman-Nya :
'wastaghfir lidzambika' .
Maka ini menunjukkan bahwa tingkatan ilmu lebih dikedepankan daripada
tingkatan amal. Dan bahwasanya Ilmu merupakan syarat dari benarnya
perkataan dan perbuatan, maka keduanya tidaklah dianggap kecuali dengan
Ilmu, dan Ilmu didahulukan atas keduanya, dikarenakan sesungguhnya Ilmu
itu yg membenarkan niat dan niat yang membenarkan amal.
(Haasyiyah Tsalaatsatul Ushuul, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al- Hanbali an-Najdi Rahimahullah).
Afwan ya Ikhwah fillah (Barakallahu fiykum),
Seperti yg sudah kita ketahui Bersama-sama..
Sesungguhnya Ilmu yg membenarkan Ni'at dan Ni'at lah yg membenarkan setiap Perbuatan...
ya Ayyuhal Ikhwah (Barakallahu fiykum), Mari Kita gunakan FB/Internet
sebagai sarana kebaikan (itupun jika kita mampu,haruslah dgn Ilmu,dalil /
hujjah).
Dan janganlah beranggapan bahwa apa yg kita lakukan
di FB tidak memiliki akibat. Karena Sesungguhnya ucapan, pendengaran dan
hati akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
Salah satunya adlh
apa yg kita lakukan di Sarana FB ini... Allah Subhanahu Wa Ta'ala Berfirman (yang artinya) :
Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya. (Ingatlah) Ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang
satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada
satu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas
yang selalu siap (mencatat). (TQS.Qaf, 16,17 dan 18).
"Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai
pertanggung
jawabannya." (TQS.Al-Isra' , (17),36).
STOP !!!
Jangan Jadikan FB buku harian Kita (Catatan tentang Apa yg Kita
Pikirkan dan apa yg sedang Kita lakukan atau kerjakan), tapi Jadikanlah
sarana FB ini menjadi Ladang Kebaikan (Tulisan yg bermanfa'at untuk diri
kita dan orang lain dan Menyambung Silahturahmi jika bertemu disarana
FB ini kepada Orang-orang atau Sahabat sudah lama tidak bertemu)...
Wallahul Musta'an...
Afwan ya Ikhwah fillah, Coba perhatikan, dan Renungkan apa yg Ana
tuliskan diatas, dan Insya Allah,Semoga Antum bisa memahaminya...
Astaghfiirullah wa atubu ilayka...
Ya Rabb,jadikanlah kami hamba-hamba- Mu yang mempunyai Akhlak dan lisan
yg baik, yang senantiasa Berdo'a kepada-Mu dalam setiap keluh kesah
kami dan hanya kepada-Mu pula kami meminta dan memohon Pertolongan...
Wallahu Ta'ala A'lam.
Insya Allah, Apa yg Ana tulis bisa bermanfa'at untk Ana khususnya dan
Antum semua, dan jika Apa yg Ana tuliskan ini mengandung Kebaikan dan
Suatu Realita yg ada , Maka, bantulah Ana untk menyampaikan Nasehat
Moral ini, Dan jika penulisan ini menyimpang dari Tuntunan Syari'at,
Maka jangan Ragu dan
Bimbang, Nasehatilah dan luruskan Ana dengan
Ilmu, Dalil dan Hujjah, Karena jika Dalil dan Hujjah telah Tegak, Maka,
Insya Allah, Antum akan temukan Ana adalah Orang yg termasuk Ruju' pada
Kebenaran.
Barakallahu fiykum.
Ana Akhiri dengan Ucapan,
Subhanakallahumma wa bihamdika, Asyhadualla ilahaillaa anta, Astaghfiiruka wa atubu 'ilayka...
copyright ummu zidan el fathi
Selasa, 17 April 2012
CETUSAN HATI ANAK KECIL
Ini adalah cetusan sederhana dari
anak-anak kecil berhubungan
dengan situasi
kedua orang tuanya yang tidak
harmoni. Ini dirangkum dan
disarikan dari banyak
surat anak-anak yang kami
kumpulkan dari anak sekolah
minggu.
Rumahku bukan lagi tempat yang
indah karena ayah dan ibuku
kerap bertengkar.
Keluargaku juga bukan
merupakan tempat yang teduh
karena teriakan dan hardikan
hampir merupakan menu setiap
hari. Seruan yang satu dibalas
dengan teriakan
yang lain. Lontaran yang lain
dijawab kasar oleh yang satu.
Dalam suasana yang
panas, kering, hambar seperti ini
rasanya waktu berjalan lama.
Menunggu hari esok
terlalu panjang. Tetapi apakah
kalau hari esok tiba, suasana
akan berobah menjadi
lebih baik; kasar menjadi lembut,
benci menjadi cinta, marah
menjadi ramah, sinis
menjadi manis, tatapan tajam
menjadi lembut. Hanya Allah
yang tahu.
Aku hanya mau bertanya
kepadaMu Allah, di manakah
Engkau ketika kedua orang
tuaku bertengkar hebat? Apakah
Engkau sendiri mendengar kata-
kata kasar dari
ayahku, dan jawaban yang tidak
sampatik dari ibuku.
Bagaimanakah perasaanMu
sendiri saat mereka saling melukai
perasaan. Apakah perasaanmu
juga terluka?
Walau dinding rumahku terbuat
dari beton, namun rasanya itu
tidak kuasa
menopang kegoncangan yang
terjadi. Walau atapnya dari seng,
namun itu juga tidak
kuasa memberi keteduhan. Walau
lantainya kokoh berlantai
keramik, namun itu juga
tidak mampu menahan
ketegangan yang nyata. Rapuh !
karena cinta mulai terkikis,
kesabaran mulai hilang, rasa
percaya mulai pudar, dan
kelemahlembutan juga kini
sirna.
Rasa ketidak enakanku bahkan
ketakutanku sangat nyata terasa
saat mereka berdua
seperti tidak saling mengenal.
Mereka seperti orang lain saja
yang seenaknya
mengumbar emosi yang membara
dan kemaharan yang tidak
terkontrol. Sering aku
menangis mengingat semuanya
ini. Rasanya aku mau berlari
meninggalkan
kenyataan ini. Aku juga sering
bermimpi keluargaku, rumahku
dan kedua orang tua
hidup rukun dan damai, tetapi
sampai sekarang mimpi itu tidak
datang-datang.
Malahkan kesannya semakin
menjauh.
Allahku, aku adalah anak kecil
yang tidak puasa kuasa untuk
mengobah segalanya.
Anak kecil yang masih harus
diajar dan didik tidak pantas
mengatakan sesuatu
kepada mereka. Maka air
matakulah yang sering menjadi
pelarianku. Doaku jugalah
yang sering menjadi sandaran
harapanku. Air mata itu belum
kering, dan saya tidak
tahu kapan itu akan menjadi
kering. Saat tangisanku mulai
reda, air mata itu
mengalir lagi, kenyataan pahit itu
datang lagi; teriakan, hardikan,
kemarahan dan
rasanya mata ini sudah sangat
perih, bibir ini keluh dan
perasaan ini sangat sedih
teriris. Luka lama itu teriris lagi.
Allah aku rindu tersenyum. Aku
ingin tertawa. Aku mau damai itu.
Aku inginkan
keteduhan itu. Aku
mendambakan kerukunan itu.
Tetapi kapan? Hanya Engkau
yang
tahu. Hanya ini pintaku dan
harapanku, “Redakan kemarahan
itu, lembutkan hati
yang keras itu, dan sirami jiwa
yang panas itu. Saya percaya
Engkau mampu
melakukannya karena Engkau
Maha Kuasa, sebagaimana guru
sekolah minggu ku
utarakan. Allahku buatlah aku
tersenyum, kalau belum bisa
tertawa. Buatlah aku
tenang kalau belum bisa senang.
Allah, di penghujung cetusan ini
aku hanya mau mengatakan
sebuah doa
pengharapan, nyanyian mimpi,
kidung keyakinan, senandung
kepastian, bahwa
Engkau tidak akan membiarkan
ayah dan ibuku larut dengan
suasana pedas, pahit
dan ketegangan ini. Engkau tidak
mengijinkan ayahku memarahi
hebat ibu. Engkau
juga jangan membiarkan ibuku
membalas lontaran ayahku
dengan tidak simpatik.
Benar sebagai anak aku tidak
kuasa mengobah segalanya,
tetapi aku berhak
bermohon segalanya dariMu
untuk ayah dan ibuku; damai,
kasih, suka cita, kelemah
lembutan, kerendahan hati dan
kesabaran. Allah jadikanlah
semuanya ini menjadi
hiasan dan pernik keluargaku.
Amin. (Dari anakmu)
Para sahabatku terkasih, cetusan
hati anak kecil ini menjadi cetusan
hati anakmu
juga. Anak siapa yang tidak ingin
damai di rumahnya? Anak siapa
yang tidak
menangis melihat kenyataan pilu
di hadapannya? Kamu boleh saja
mengatakan
bahwa anakmu belum mengerti
apa-apap, namun ingatlah bahwa
mereka bisa
melihat dan merasakannya.
Semoga harapan, keinginan dan
mimpi anakmu nyata
dalam keluargamu. Semoga.
Ini adalah cetusan sederhana dari
anak-anak kecil berhubungan
dengan situasi
kedua orang tuanya yang tidak
harmoni. Ini dirangkum dan
disarikan dari banyak
surat anak-anak yang kami
kumpulkan dari anak sekolah
minggu.
Rumahku bukan lagi tempat yang
indah karena ayah dan ibuku
kerap bertengkar.
Keluargaku juga bukan
merupakan tempat yang teduh
karena teriakan dan hardikan
hampir merupakan menu setiap
hari. Seruan yang satu dibalas
dengan teriakan
yang lain. Lontaran yang lain
dijawab kasar oleh yang satu.
Dalam suasana yang
panas, kering, hambar seperti ini
rasanya waktu berjalan lama.
Menunggu hari esok
terlalu panjang. Tetapi apakah
kalau hari esok tiba, suasana
akan berobah menjadi
lebih baik; kasar menjadi lembut,
benci menjadi cinta, marah
menjadi ramah, sinis
menjadi manis, tatapan tajam
menjadi lembut. Hanya Allah
yang tahu.
Aku hanya mau bertanya
kepadaMu Allah, di manakah
Engkau ketika kedua orang
tuaku bertengkar hebat? Apakah
Engkau sendiri mendengar kata-
kata kasar dari
ayahku, dan jawaban yang tidak
sampatik dari ibuku.
Bagaimanakah perasaanMu
sendiri saat mereka saling melukai
perasaan. Apakah perasaanmu
juga terluka?
Walau dinding rumahku terbuat
dari beton, namun rasanya itu
tidak kuasa
menopang kegoncangan yang
terjadi. Walau atapnya dari seng,
namun itu juga tidak
kuasa memberi keteduhan. Walau
lantainya kokoh berlantai
keramik, namun itu juga
tidak mampu menahan
ketegangan yang nyata. Rapuh !
karena cinta mulai terkikis,
kesabaran mulai hilang, rasa
percaya mulai pudar, dan
kelemahlembutan juga kini
sirna.
Rasa ketidak enakanku bahkan
ketakutanku sangat nyata terasa
saat mereka berdua
seperti tidak saling mengenal.
Mereka seperti orang lain saja
yang seenaknya
mengumbar emosi yang membara
dan kemaharan yang tidak
terkontrol. Sering aku
menangis mengingat semuanya
ini. Rasanya aku mau berlari
meninggalkan
kenyataan ini. Aku juga sering
bermimpi keluargaku, rumahku
dan kedua orang tua
hidup rukun dan damai, tetapi
sampai sekarang mimpi itu tidak
datang-datang.
Malahkan kesannya semakin
menjauh.
Allahku, aku adalah anak kecil
yang tidak puasa kuasa untuk
mengobah segalanya.
Anak kecil yang masih harus
diajar dan didik tidak pantas
mengatakan sesuatu
kepada mereka. Maka air
matakulah yang sering menjadi
pelarianku. Doaku jugalah
yang sering menjadi sandaran
harapanku. Air mata itu belum
kering, dan saya tidak
tahu kapan itu akan menjadi
kering. Saat tangisanku mulai
reda, air mata itu
mengalir lagi, kenyataan pahit itu
datang lagi; teriakan, hardikan,
kemarahan dan
rasanya mata ini sudah sangat
perih, bibir ini keluh dan
perasaan ini sangat sedih
teriris. Luka lama itu teriris lagi.
Allah aku rindu tersenyum. Aku
ingin tertawa. Aku mau damai itu.
Aku inginkan
keteduhan itu. Aku
mendambakan kerukunan itu.
Tetapi kapan? Hanya Engkau
yang
tahu. Hanya ini pintaku dan
harapanku, “Redakan kemarahan
itu, lembutkan hati
yang keras itu, dan sirami jiwa
yang panas itu. Saya percaya
Engkau mampu
melakukannya karena Engkau
Maha Kuasa, sebagaimana guru
sekolah minggu ku
utarakan. Allahku buatlah aku
tersenyum, kalau belum bisa
tertawa. Buatlah aku
tenang kalau belum bisa senang.
Allah, di penghujung cetusan ini
aku hanya mau mengatakan
sebuah doa
pengharapan, nyanyian mimpi,
kidung keyakinan, senandung
kepastian, bahwa
Engkau tidak akan membiarkan
ayah dan ibuku larut dengan
suasana pedas, pahit
dan ketegangan ini. Engkau tidak
mengijinkan ayahku memarahi
hebat ibu. Engkau
juga jangan membiarkan ibuku
membalas lontaran ayahku
dengan tidak simpatik.
Benar sebagai anak aku tidak
kuasa mengobah segalanya,
tetapi aku berhak
bermohon segalanya dariMu
untuk ayah dan ibuku; damai,
kasih, suka cita, kelemah
lembutan, kerendahan hati dan
kesabaran. Allah jadikanlah
semuanya ini menjadi
hiasan dan pernik keluargaku.
Amin. (Dari anakmu)
Para sahabatku terkasih, cetusan
hati anak kecil ini menjadi cetusan
hati anakmu
juga. Anak siapa yang tidak ingin
damai di rumahnya? Anak siapa
yang tidak
menangis melihat kenyataan pilu
di hadapannya? Kamu boleh saja
mengatakan
bahwa anakmu belum mengerti
apa-apap, namun ingatlah bahwa
mereka bisa
melihat dan merasakannya.
Semoga harapan, keinginan dan
mimpi anakmu nyata
dalam keluargamu. Semoga.
Senin, 16 April 2012
Delapan kebohongan ibu
Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya Dalam
kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa
kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam
penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru
sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna
sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka
mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah
energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum
bunga yang paling indah di dunia.
Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai
seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin.
Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika
makan, ibu seringmemberikan porsi nasinya untukku.
Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
"Makanlah nak, aku tidak lapar" --------- KEBOHONGAN IBU
YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering
meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing
di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil
pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi
untuk petumbuhan anaknya.
Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar
dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan
itu, ibu duduk disampingku dan memakan sisa daging ikan
yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas
sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti
itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan
memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya, ia berkata:
"Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan" ---------
KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah
abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa
sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil
tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk
menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku
bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu
pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan
pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku
berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih
harus kerja.
" Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku
tidak capek" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat
menemaniku pergiujian. Ketika hari sudah siang, terik
matahari mulai menyinari, ibu yangtegar dan gigih
menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa
jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian
sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan
menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang
dingin untukku.Teh yang begitu kental tidak
dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih
kental.Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera
memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya
minum. Ibu berkata :
"Minumlah nak, aku tidak haus!" ---------- KEBOHONGAN
IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang
harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan
berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia
harusmembiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan
keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari
tanpapenderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin
parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di
dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar
maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah
rumah melihatkehidupan kita yang begitu sengsara,
seringkali menasehati ibuku untukmenikah lagi. Tetapi ibu
yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat
mereka, ibu berkata:
"Saya tidak butuh cinta" --------- KEBOHONGAN IBU YANG
KELIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat
dari sekolah danbekerja, ibu yang sudah tua sudah
waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk
pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur
untukmemenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan
abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan
sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan
ibu,tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang
tersebut. Malahan mengirimbalik uang tersebut. Ibu
berkata :
"Saya punya duit" --------- KEBOHONGAN IBU YANG
KEENAM
Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan
kemudianmemperoleh gelar master di sebuah universitas
ternama di Amerika berkatsebuah beasiswa di sebuah
perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan
itu.Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi
ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan
anaknya, ia berkata kepadaku
"Aku tidak terbiasa" --------- KEBOHONGAN IBU YANG
KETUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkenapenyakit
kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang
berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera
pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu
yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani
operasi. Ibu yang keliatansangat tua, menatap aku dengan
penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebardi
wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang
ditahannya.Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu
menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan
kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambilberlinang
air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam
kondisiseperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
"jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan" ---------
KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.
Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan,
ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir
kalinya.
---ooOOOoo---
Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian
pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : "
Terima kasih ibu, dan terimakasih ayah ! " Coba dipikir-
pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon
ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak
menghabiskan waktu kita untukberbincang dengan ayah
ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini,
kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk
meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa
akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan
dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar
kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita,
cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas
apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah
kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita?
Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas
apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini
benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk
membalas budi ortu kita, lakukanlah ang terbaik. Jangan
sampai ada kata "MENYESAL" dikemudian hari.
Sumber :maestromuda.org
Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya Dalam
kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa
kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam
penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru
sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna
sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka
mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah
energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum
bunga yang paling indah di dunia.
Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai
seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin.
Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika
makan, ibu seringmemberikan porsi nasinya untukku.
Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
"Makanlah nak, aku tidak lapar" --------- KEBOHONGAN IBU
YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering
meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing
di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil
pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi
untuk petumbuhan anaknya.
Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar
dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan
itu, ibu duduk disampingku dan memakan sisa daging ikan
yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas
sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti
itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan
memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya, ia berkata:
"Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan" ---------
KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah
abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa
sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil
tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk
menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku
bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu
pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan
pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku
berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih
harus kerja.
" Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku
tidak capek" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat
menemaniku pergiujian. Ketika hari sudah siang, terik
matahari mulai menyinari, ibu yangtegar dan gigih
menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa
jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian
sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan
menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang
dingin untukku.Teh yang begitu kental tidak
dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih
kental.Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera
memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya
minum. Ibu berkata :
"Minumlah nak, aku tidak haus!" ---------- KEBOHONGAN
IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang
harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan
berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia
harusmembiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan
keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari
tanpapenderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin
parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di
dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar
maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah
rumah melihatkehidupan kita yang begitu sengsara,
seringkali menasehati ibuku untukmenikah lagi. Tetapi ibu
yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat
mereka, ibu berkata:
"Saya tidak butuh cinta" --------- KEBOHONGAN IBU YANG
KELIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat
dari sekolah danbekerja, ibu yang sudah tua sudah
waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk
pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur
untukmemenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan
abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan
sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan
ibu,tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang
tersebut. Malahan mengirimbalik uang tersebut. Ibu
berkata :
"Saya punya duit" --------- KEBOHONGAN IBU YANG
KEENAM
Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan
kemudianmemperoleh gelar master di sebuah universitas
ternama di Amerika berkatsebuah beasiswa di sebuah
perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan
itu.Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi
ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan
anaknya, ia berkata kepadaku
"Aku tidak terbiasa" --------- KEBOHONGAN IBU YANG
KETUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkenapenyakit
kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang
berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera
pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu
yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani
operasi. Ibu yang keliatansangat tua, menatap aku dengan
penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebardi
wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang
ditahannya.Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu
menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan
kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambilberlinang
air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam
kondisiseperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
"jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan" ---------
KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.
Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan,
ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir
kalinya.
---ooOOOoo---
Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian
pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : "
Terima kasih ibu, dan terimakasih ayah ! " Coba dipikir-
pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon
ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak
menghabiskan waktu kita untukberbincang dengan ayah
ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini,
kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk
meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa
akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan
dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar
kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita,
cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas
apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah
kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita?
Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas
apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini
benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk
membalas budi ortu kita, lakukanlah ang terbaik. Jangan
sampai ada kata "MENYESAL" dikemudian hari.
Sumber :maestromuda.org
Langganan:
Postingan (Atom)