Haramnya Musik
Membedah
Kontroversi Haramnya Musik
Kontroversi tentang musik seakan tak
pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil.
Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta
mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan
merujuk kepada mereka.
Musik dan nyanyian, merupakan suatu
media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di
zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong
dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di
bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah
sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka
bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya musik dan lagu ini
disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui
hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai
sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka
membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu
hukumnya haram, serta merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan:
sesat, agama baru, ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.Namun bukan berarti,
tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan
kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam.
Kebenaran harus disuarakan,
kebatilan harus ditampakkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في
حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia,
menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya,
atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no.
4007. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Silsilah Ash-Shahihah,
1/322)
Terlebih lagi, jika permasalahan
yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang
telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap
sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta
menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah
Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan rasionalis.
Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm rahimahullahu sebagai tameng untuk
membenarkan penyimpangan tersebut. Oleh karenanya, berikut ini kami akan
menjelaskan tentang hukum musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama
salaf.
Definisi Musik
Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang berarti
berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu, maknanya adalah
berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari yang
melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf
dari para wanita artinya adalah yang tidak senang kepada mereka. Ma’azif adalah
jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ), dan disebut juga
‘azfun (عَزْفٌ). Mi’zaf adalah
sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari
kayu dan dijadikan sebagai alat musik. Al-‘Azif adalah orang yang bermain
dengannya.
Al-Laits rahimahullahu berkata:
“Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.” Al-Qurthubi
rahimahullahu meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif adalah nyanyian.
Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik. Ada
pula yang mengatakan maknanya adalah suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi
berkata: “Al-ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang
dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul
Bari, 10/57)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158) Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan, 1/260-261)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158) Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan, 1/260-261)
Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya.
Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
- Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul. Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah (gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
- Kedua: Alat musik yang ditiup. Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis seruling).
- Ketiga: Alat musik yang dipetik. Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
- Keempat: Alat musik otomatis. Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya.
(Lihat risalah Hukmu ‘Azfil Musiqa
wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik
dan Lagu
Dalil dari Al-Qur`an
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
Abdullah bin ‘Abbas, beliau
mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan
yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no.
1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid
Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani
dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah
nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau
mengulangi ucapannya tiga kali.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
Ikrimah rahimahullahu. Syu’aib bin
Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits)
dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143). Mujahid bin Jabr rahimahullahu. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih).
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143). Mujahid bin Jabr rahimahullahu. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang
lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna
al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.”
(Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
(Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
Al-Hasan Al-Bashri, beliau
mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi rahimahullahu menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)
Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian.
As-Suyuthi rahimahullahu menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)
Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian.
Ahli Ma’ani
berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang
melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَفَمِنْ
هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ. وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ
“Maka apakah kalian merasa heran
terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan
kalian ber-sumud” (QS. An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian
bersumud” maknanya adalah bernyanyi.
Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an,
maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman
(dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata:
“Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)
‘Ikrimah rahimahullahu. Beliau juga
berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu.
Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu.
Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’
Ibnul ‘Anbar mengatakan: ‘As-Samid
artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong, dan orang yang
berdiri.’
Ibnu ‘Abbas berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’
Ibnu ‘Abbas berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’
Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan
congkak.’
Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’
Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’
Yang lainnya berkata: ‘Lalai, luput,
dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan mengantarkan
kepadanya.”
(Ighatsatul Lahafan, 1/258)3.
(Ighatsatul Lahafan, 1/258)3.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada Iblis:
وَاسْتَفْزِزْ
مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ
وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَولاَدِ وَعِدْهُمْ وَمَا
يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al-Isra`: 64)
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan dari sebagian
ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara
mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang
menyebutkan hal tersebut adalah:
Mujahid rahimahullahu. Beliau
berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.”
(Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian ahli tafsir ada yang
menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang
paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu
sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan
suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya,
kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka termasuk dalam makna suara yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama salaf
telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup suara
nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi pelakunya
untuk menjauh dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa,
11/641-642)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar
untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)
Dalil-dalil dari As-Sunnah.
Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik
Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛ فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛ فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits ini adalah hadits yang
shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin
Ammar berkata…” tidaklah memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu tidak dikenal sebagai seorang mudallis (yang
menggelapkan hadits), sehingga hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan, telah
shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya
secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam syaratnya.”
(Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39.
Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
berkata setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan
membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah
penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan
penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram.
Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106).
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram.
Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106).
Hadits Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
:صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir
bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
Hadits Abdullah bin ‘Abbas c, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ
اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr,
judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu
haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la
dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan
Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
Hadits Abdullah bin ‘Amr bin
Al-‘Ash, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ
وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang), dan
al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan
itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad,
2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan Al-Albani
dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
Atsar dari Ulama Salaf
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata:
الْغِنَاءُ
يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.”
(Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari
jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)
Ishaq bin Thabba` rahimahullahu
berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullahu tentang sebagian
penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya
menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang fasiq.”
(Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi
dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)
Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262).
Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262).
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu
berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu menulis sebuah surat kepada ‘Umar
bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling,
(itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu
Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal.
120)
‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi
rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam
hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir
menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu
Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam
At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid
Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh
Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahullahu
–seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang guru
Al-Imam Al-Bukhari t– ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau
menjawab: “Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang
melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal
dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata:
“Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mengingkari
nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di antara
mereka. Sementara para pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal
tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki
kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian. Lalu
beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat
di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari
mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa
nafsunya.
Para fuqaha dari sahabat kami (para
pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang biduan
dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu
berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah
para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian,
perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling
dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
Ath-Thabari rahimahullahu berkata:
“Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya
nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat musik
semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari
rahimahullahu di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Coba tela’ahlah sabda Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam, serang Nabi yang diutus, seorang Rosul yang benar
dan dibenarkan; sebagaimana telah dikisahkan oleh Abu ‘Amir al-‘Asy’ary
rodhiyallohu anhu, demi Alloh beliau tidak berdusta, bahwa beliau mendengar
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Niscaya kelak akan ada beberapa
kaum dari sebagian umatku yang menghalalkan zina, sutra (bagi kaum laki-laki),
khomer (miras dengan berbagai jenis dan mereknya), serta alat-alat musik”. ( HR.
Bukhori no: 5268 )
Perhatikan dan telaah dengan seksama
hadits Nabi kita shollallohu alaihi wasallam di atas. Jangan berprasangka
apa-apa. Berangkatlah dari hati yang rindu kebenaran yang dibawa oleh Nabi
kita. Menjauhlah dari hawa dan tinggalkan nafsu. Lalu dengan hati nurani dan
akal pahamilah setiap kata dalam kalimat Nabi kita di atas.
Dengan sejelasnya sabda Nabi kita
di atas menunjukkan bahwa sejak dari semula musik hukumnya haram. Dan
seandainya kita katakan musik itu halal, maka menurut hadits tersebut di atas
berarti kita lah yang terdakwa telah menghalalkannya. Berarti pula benarlah
kenabian Nabi kita shollallohu alaihi wasallam dengan bukti adanya kaum dari
umat beliau yang menghalalkan musik padahal hukumnya adalah haram.
Hal ini sebab hukum halal dan haram
adalah hak Alloh ta’ala, Pembuat syari’at, dan hak Rosululloh, rosul utusan
Alloh. Sehingga kalaulah ada umat beliau yang menghalalkan sesuatu yang
diharamkan beliau maka tidak akan merubah status hukum haram tersebut menjadi
halal. Semoga hal ini bisa dipahami.
Adapun alat musik yang boleh ditabuh
saat pesta walimah ialah “duff”, yaitu rebana murni (tanpa kepingan logam atau
yang lain).
Berdasarkan sabda Rosululloh
shollallohu alaihi wasallam:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ
وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“pembeda antara yang halal dan yang
haram adalah (tabuhan) duff dan lantunan (syair-syair) saat (pesta) pernikahan”
HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan
Tirmidzi, dan dihasankan oleh at-Tirmidzi.
Kebolehan menabuh rebana seperti ini
disyaratkan hanya khusus di kalangan kaum wanita, tidak disertai alat musik
lainnya, tidak didendangkan lagu dan nyanyian.
Boleh pula didendangkan syair-syair penggugah semangat ibadah maupun yang
membawa kebaikan lainnya yang didendangkan oleh anak-anak perempuan yang belum
baligh, selagi tidak diperdengarkan kepada kaum laki-laki.
Imam asy-Syaukani rohimahulloh
mengatakan: ”pada hadits tersebut terdapat
dalil bahwasannya boleh ditabuh rebana-rebana dalam pesta pernikahan. Boleh
juga didendangkan beberapa kalimat semisal (syair); kami datang kami
datang…dst; dan semisalnya selagi bukan lagu-lagu yang membangkitkan kekejian
dan kejahatan, yang menyebut-nyebut kecantikan dan keelokan, perbuatan dosa
maupun menyemangati untuk meminum khamer. Yang demikian itu hukumnya haram baik
pada pesta pernikahan maupun di luar pesta pernikahan, sama halnya haramnya
seluruh alat musik yang melenakan.”
(tanya-jawab musik saat walimah –
Abu Ammar al-Ghoyami)
Berdasarkan kesaksian dari
orang-orang yang telah bertobat dan meninggalkan musik, diperoleh fakta bahwa
dalam 3-4 minggu sejak meninggalkan musik :
- Meningkatnya daya ingat
- Menjernihkan pandangan dan mempertajam pemikiran
- Daya analisa jauh meningkat
- Menghilangkan “Moody”
- Shalat lebih khusyu dari sebelumnya
Silahkan anda buktikan sendiri !
Masih banyak lagi pernyataan para
ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian.
Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.
Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.