Selasa, 01 Mei 2012

Republik Zina Menunggu Binasa
Masih gadis sudah tidak
perawan? Tak perlu
mengernyitkan dahi. Saat ini
perempuan belum menikah tapi
sudah tidak virgin bukanlah
barang langka. Survey terbaru
yang dilakukan lembaga
internasional DKT bekerja sama
dengan Sutra and Fiesta
Condoms mengungkap, remaja
tak lepas dari seks bebas.
Buktinya, 462 responden berusia 15 sampai 25 tahun
semua mengaku pernah berhubungan seksual. Semua,
100 persen! Dan, mayoritas mereka melakukannya
pertama kali saat usia 19 tahun. Survey dilakukan Mei
2011 di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan Yogyakarta
(Republika.co.id, 12/12/2011).
Selanjutnya, data yang diungkap lebih miris lagi. Yakni,
sebanyak 88 persen hubungan seks dilakukan bersama
pacar, 9 persen dengan sesama jenis (terutama wanita),
dan 8 persen dengan PSK (untuk pria). Umumnya mereka
melakukan zina di tempat kos (33 persen), hotel atau
motel (28 persen), sementara rumah 24 persen. Lama
pacaran mereka sebelum berhubungan seksual, rata-rata
satu tahun.
Perzinaan agaknya sudah menjadi gaya hidup sebagian
warga berhaluan LIBERAL di Republik ini. Tepatnya, sejak
kran liberalisasi di berbagai bidang dibuka, life style ala
Barat yang sarat dengan gelagak syahwat turut menjadi
penumpang gelap. Dilegalkan tidak, tapi merebak di
mana-mana. Pornografi, pornoaksi, pelacuran,
permesuman dan hiburan maksiat, begitu dekat, mengulik
urat syahwat.
Tak peduli lelaki baru baligh, atau gadis bau kencur, jika
saraf-saraf nafsunya sudah diobrak-abrik, apa pun
dilakukan. Jika pintu legal pernikahan begitu terjal, zina
gratis jadi pelampiasan. Toh suka sama suka, saling
menguntungkan, tak ada yang dirugikan. Dan lebih
penting, toh tak ketahuan. Boro-boro dikenai rajam atau
sekadar dikucilkan, dengan bangga pelaku zina mem-
videokan adegan vulgarnya.
Bagaimana dengan memperkosa? Memang terlalu berat
risikonya. Kalau zina suka sama suka, tidak ada delik
pidananya. Perkosaan hanya dilakukan mereka yang
“kebelet” melampiaskan nafsu tapi tak punya pacar, atau
tak punya uang untuk membayar pelacur. Juga, yang tak
kuat nikah karena biaya administrasinya mahal, atau tak
punya calon saking tak lakunya.
Dan, di negeri ini, tipe seperti inipun tak kalah banyaknya.
Fenomena pemerkosaan di angkutan umum adalah salah
satunya. Korbannya sudah banyak berjatuhan, perempuan
semakin terancam di luar sana. Kejahatan seksual
mengintai setiap detik. Kalau tak diperdaya dengan rayuan
gombal, dicaplok para pemerkosa. Duh!
Omong kosong jika negara melindungi warganya. Yang
ada bukannya melarang, malah merangsang mereka untuk
menjadi penikmat syahwat. Memblokir situs porno hanya
sebatas niat. Baru sejenak sudah jebol lagi. Bahkan
dipelopori jajaran pejabat sendiri (ingat kasus anggota DPR
yang ketahuan mengakses situs porno saat sidang?).
Jangan heran jika kita membaca berita, tiap hari selalu ada
episode-episode anyar video-video mesum amatir dengan
aktor-aktris muda-mudi yang dimabuk asmara, pelajar
kurang ajaran, atau pasangan selingkuh.
Sekali lagi, negara justru menggelontorkan kebijakan yang
memperlonggar perzinaan. Media massa, novel, komik,
iklan, lukisan, sinetron, film, foto, lagu dan tayangan realty
show bertema cabul pun bebas beredar. Tidak akan
dibredel sekalipun sudah protes massal oleh masyarakat.
Pelacuran, eksploitasi aurat perempuan, dan tempat-
tempat hiburan yang menjajakan syahwat, dibiarkan.
Tidak akan ditutup asal menyumbang pajak.
Di sisi lain, negara membuat berbagai larangan untuk
menyumbat penyaluran syahwat dengan cara-cara legal.
Usia pernikahan terus dinaikkan, biaya nikah dimahalkan
dan syarat penikahan diperketat. Termasuk, upaya
pelarangan poligami sekalipun bagi mereka yang mampu.
Jika pembaca jeli, inilah sebenarnya yang diharapkan
negara liberal ini: industri porno menggeliat, zina dini
meningkat, pemerkosaan berlipat, kehamilan di luar nikah
tumbuh cepat, aborsi dipersingkat, dan lahirlah generasi
generasi bejat.
Persis di Barat, yang kini di ambang kebinasaan. Akankah
Republik ini diam saja menunggu saat yang sama?
Fenomena di atas tentu bukan perkara remeh. Muda-mudi
calon pemimpin masa depan, sudah sedemikian amoral.
Berani menghalalkan zina yang jelas-jelas diharamkan.
Anehnya, terhadap persoalan ini, hampir tidak ada yang
menuding sistem hidup sekuler-liberallah yang menjadi
akar masalahnya. Padahal sistem inilah yang
“mewajibkan” remaja pacaran, hingga merasa tak gaul
tanpa berhubungan badan dengan pujaan hatinya.
Sistem inilah yang mengajarkan, bahwa perempuan harus
membuka auratnya, mempertontonkan kepada lelaki
bukan mahromnya. Sistem inilah yang memandu tumbuh
kembang remaja, tanpa didampingi kedua orangtuanya
yang sangat sibuk digilas roda perekonomian. Sistem inilah
yang memberhalakan materi, uang dan kenikmatan
seksual.
Memang, mereka mengharapkan “agama” (baca: Islam)
mampu menyelesaikan persoalan ini. Pada saat remaja
ketahuan amoral, segera semua pihak berteriak “ini karena
kurangnya pendidikan agama” atau “para ulama harusnya
lebih berperan membina akhlak remaja” dan para guru
dan orangtua harus menanamkan nilai-nilai moral lebih
intens pada anak-anaknya.”
Agama dijadikan tong sampah saja, sekadar untuk
memperbaiki keadaan yang sudah rusak. Anak nakal dan
bandel, dikirim ke pesantren. Image pesantren sebagai
pendidikan mulia pun babak belur. Terlebih lagi, pada saat
yang sama diopinikan bahwa pesantren adalah “produsen”
teroris. Lulusan pesantren, orang-orang mukhlis itu,
didakwa membahayakan eksistensi negara. Sementara
para pelaku maksiat dianggap pahlawan penyumbang
devisa.
Tapi, baiklah, agama (baca: Islam) bersedia memperbaiki
keadaan. Bahkan punya sulosi komprehensif untuk
menuntaskan segala persoalan. Bukan hanya mengatasi
perzinaan, itu terlalu “mudah.” Bahkan mengatasi
kemiskinan, kelaparan, ketimpangan sosial, kriminalitas,
dll, serahkan saja padanya.
Tapi, mengapa ketika Islam -yang dipeluk mayoritas
penduduk negeri ini– mengajukan syariatnya sebagai
solusi, dicap mengancam eksistensi negara, radikal,
ekstrimis, intoleran, bahkan antipemerintah? Kenapa
negara dengan setia menerapkan sekulerisme, padahal
sekulerisme itu sendirilah yang melahirkan semua
kebobrokan sosial ini?
Sebaliknya, kenapa menuduh ideologi Islam, yang belum
pernah diberi kesempatan memerintah negeri ini, dengan
tuduhan-tuduhan miring? Tampak jelas, siapa yang
bermuka dua, antara butuh dan tidak butuh terhadap
Islam. Dan akan lebih baik lagi pembaca tanyakan pada
nurani mereka yang sering menggembosi dan
menghadang penegakan syariat islam, tanyakan pada
mereka yang mengakui "kesaktian" Pancasila, ketimbang
AL QURAN yang mulia.
Ingat-ingatlah duhai pembaca, kalau kalian mengerti,
pertarungan di tingkat pemikiran ini sudah lama
berlangsung, dan sedang berkecamuk dengan dahsyat,
kapan lagi kita hendak merapatkan barisan ? menunggu
babak belur ?????
Kita adalah umat terbaik yang pernah dilahirkan, jangan
pedulikan tong kosong yang hanya bisa menanam PADI
(kebaikan) sedangkan RUMPUT (pangkal kerusakan)
mereka biarkan tumbuh subur, biarlah mereka memanen
RUMPUT, toh kerugian mereka sendiri yang tanggung.
Tetapi jangan sampai pola pikir mereka yang terbalik
menguasai kita, mereka yang islam rohmatan lil alaminnya
sekedar di mulut saja.
Inilah tanda-tanda akhir zaman. Ketika perzinaan
merajalela dan masyarakat menganggapnya biasa. Kalau
sudah begini, Republik ini tinggal menunggu BINASA. Dan
mereka hanya bisa saling lempar tanggung jawab.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW beliau
bersabda: “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, tidaklah
akan binasa umat ini sehingga orang-orang lelaki
menerkam wanita di tengah jalan (dan menyetubuhinya)
dan di antara mereka yang terbaik pada waktu itu berkata,
“alangkah baiknya kalau saya sembunyikan wanita ini di
balik dinding ini.” (HR. Abu Ya’la. Al Haitsami berkata,
“perawi-perawinya shahih.” Lihat Majmu’ Zawaid: 7/331)

Be_
Situslakalaka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar