==> http://www.facebook.com/notes/maiya-azyzaa/novel-bidadari-bidadari-surga-bagian-6/250744471674669
BIDADARI-BIDADARI SURGA by Tere Liye
BAGIAN 6
AKU HARUS PULANG, SEKARANG!
"ADUH, Intan lagi sibuk, Mi!" Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa
terganggu.
"Intan harus pulang, sayang...."
"Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung, Bentar lagi juga bel!"
"Sekarang, Intan! Tadi Ummi sudah bicara sama Headmaster Miss Elly!
Intan boleh ijin selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The Planet! Mana lagi seru-
serunya. Besok kan Intan mau keliling bawa-bawa gelang karet ke Pasar Induk
bareng teman-teman.... Mana boleh Intan ijin sekolah...." Gadis kecil yang gigi
atasnya sedang tanggal satu itu malas memberesi tas, penggaris, crayon, kertas
gambar, buku-buku, pensil di atas mejanya. Sengaja melakukannya pelan-
pelan.
Teman-teman kelasnya sibuk menoleh, menonton.
Dalimunte yang berdiri di belakang, tersenyum mengangguk. Berusaha
membuat nyaman teman-teman Intan, meski apa daya ekspresi mukanya jadi
terlihat aneh. Mereka baru saja tiba di sekolah alam itu. Menjemput putri
mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit Intan. Rusuh sejenak bicara
dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang apa daya
nge-fans berat sama Profesor Dalimunte, jangankan soal sepenting ini, soal
Intan pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari, mengangguk. Tidak
masalah.
"Memangnya kita mau kemana sih, Mi? Mendadak benar!" Gadis kecil
berumur sembilan tahun itu memasukkan crayon biru terakhirnya ke dalam tas.
Menoleh ke wajah Ummi yang seperti tidak sabaran ikut membantu berberes-
beres. Padahal sejak setahun terakhir mana pernah coba Ummi bantu-bantu
beres kamarnya, Intan kan sudah besar, bisa sendiri.
"Perkebunan strawberry!" Dalimunte yang menjawab, pendek.
"EYANG LAINURI?" Mata hitam gadis kecil itu membulat. Dalimunte
mengangguk, mengusap lehernya.
"HORE!!" Intan mendadak malah semangat menyeret tas sekolahnya
yang berat itu. Wajah malasnya tadi langsung sirna. Ia malah tidak perlu
ditunggu lagi, langsung maju ke depan. Membawa kanvas lukisnya. Pamitan ke
Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua tahun terakhir Intan loncat kelas dua kali).
Lantas, tanpa diminta memimpin berjalan di depan Dalimunte dan Ummi
sambil melambaikan tangan ke teman-temannya.
"Eh, sebentar-"
"Apa sayang?" Langkah Ummi ikut terhenti.
"Gelang karetnya kelupaan! Intan kan mesti bawa gelang karet buat
Eyang! Biar pamanpaman yang ngurus kebun bisa pake gelang, biar mereka
pakai dua gelang setiap tangannya!" Ia nyengir, tertawa kecil, senang atas
idenya. Berhenti sejenak. Mendekati teman-temannya yang masih sibuk
menonton.
Dalimunte untuk ke sekian kalinya melirik jam di pergelangan tangan.
Mendesah. Semoga belum terlambat.
**********
"Come on, why nan avete due posti per noi? Any flight, questo e molto
importante!" Wajah Ikanuri terlihat memelas.
Dulu Ikanuri jagonya soal menipu orang lain dengan wajah sok memelas.
Kak Laisa yang suka mengejar-ngejarnya dengan sapu lidi, berkali-kali tertipu
soal ini. Sok memelas sakit (malas sekolah). Sok memelas sakit (malas bantu
Mamak Lainuri). Sok memelas sakit (malas ngurus kebun). Sakitnya si bisa
macam-macam. Sakit kaki-lah. Sakit tangan. Bisul. Bahkan panu pun bisa jadi
alasan Ikanuri.
"Mi displace, tutti i voli dall'italia sono pieni da una settimana fa! Questa
settimana c'e la finale di Champions League!. Maaf, penerbangan kemanapun
dari Italia sudah penuh sejak seminggu lalu! Minggu ini final Liga Champion,
Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh dari Roma!"
"Ayolah! Bagaimana mungkin kalian tidak punya dua kursi untuk kami?
Di kelas apapun. Penerbangan apapun. Ini penting sekali! Dua tiket saja!"
"Senior tidak mengeri. Ini final Liga Champion—"
"Solo due biglietti?"
"Questa e la finale di Calcio—"
"Sepak bola sialan! Kenapa pula semua orang sibuk menonton 22 orang
berebut satu bola! Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola juga saja!" Ikanuri
memotong kalimat gadis itu, meremas rambutnya. Memaki. Teringat kaos bola
titipan putrinya.
Ini juga gaya favorit Ikanuri waktu kecil dulu kalau menipu guru di kelas
(ketahuan bolos). Atau ketahuan mencuri uang di kelpeh plastik Mamak
Lainuri. Sok bego tidak mengerti. Ah, tapi sekarang ekspresi itu
benar-benar jujur. Lagipula sejak puluhan tahun silam, Ikanuri sudah
insyaf. Kapok.
Mengerti benar maksud Kak Laisa yang suka berteriak, 'kerja keras!', 'kerja
keras!', 'kerja keras!'
"Bisa tolong cek jadwal penerbangan maskapai lainnya, please?"
Wibisana yang berdiri agak dibelakang Ikanuri menyibak maju ke depan.
Berusaha tersenyum ke gadis penjaga loket biro perjalanan di Bandara Roma
yang sejak tadi berkali-kali tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan
Ikanuri.
"Percuma, Senior, Benar-benar full. Anda lihat rombongan di sana!
Rombongan kedutaan negara Anda. Mereka hari ini juga ingin ke Jakarta. Tidak
ada lagi tiket tersisa. Tidak buat mereka. Juga tidak buat, Senior. Maaf—"
Gadis penjaga itu mencoba ikut bersimpati. Menunjuk lima orang yang
bergerombol diruang tunggu. Wibisana dan Ikanuri menelan ludah.
"Jadi apa yang harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa.
Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
"Kalau Senior mau, saya bisa melakukan reservasi penerbangan dari
bandara lain...." Menekan-nekan keyboard komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik tersebut.
"Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini juga—"
"Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini
digelar pertandingan final Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim
kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung. Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota
di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar. Vienna, Austria juga penuh.
Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??"
Perancis? Rona kabar baik itu seketika padam.
BERSAMBUNG..,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar