==> http://www.facebook.com/notes/maiya-azyzaa/novel-bidadari-bidadari-surga-bgian-3/247338275348622
BIDADARI-BIDADARI SURGA by Tere Liye
BAGIAN 3
"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir?
Hari kiamat? Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi
siapapun yang masih mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli
dari kitab suci agama manapun, berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu
sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan membahas soal mirip tidaknya, itu
urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang menjelaskan kalau
sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika terbaru
kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar
peperangan besar, yang dikenal beberapa agama lain dengan sebutan
Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan. Penguasaan wilayah.... Menarik.
Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin pernah melipat dahi,
bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai riwayat sahih
terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan dengan
pedang, dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan
menemukan berbagai translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan
satu.... Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari
ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit? Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir
jaman, bukankah seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran
konvensional? Berita tentang ulat-ulat yang dikirimkan dari langit? Keluarnya
dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh air sungai yang mereka lewati?
Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf jika ini terlalu
detail—" Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta simposium yang datang
dari sekutu Negara bersangkutan tidak terlalu berkeberatan dengan kalimat itu,
lebih asyik melihat layar LCD raksasa di depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal
senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan
Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai sudah! Bagaimana
mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa menggunakan teknologi
hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun, atau ribuan
tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata
saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua
tiga rudal berhulu nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau
jangan-jangan dua tiga ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa
membuat koloni pertama di Mars! Jangan-jangan maksud peperangan tersebut
adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan Ma'juj yang dikurung
di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini kita tidak tahu di
mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal
bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari bagaimana menafsirkan berbagai translasi religius ini, sepertinya kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan
tadi amat berlebihan, sejauh ini belum ada buktinya. Kabar peperangan besar
tersebut sepertinya memang akan sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu.
Saya menyimpulkan demikian: sesederhana itu...”
“Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak digunakan
saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah
diakumulasi beratus-ratus tahun oleh manusia? Apakah seolah-olah kemajuan
ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika hari kiamat tiba,
peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apa adanya?" Dalimunte
diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium dengan berbagai
pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak. Terus menyajikan
dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda dari berbagai kitab suci lainnya.
Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu mengerti transkripsi religius
yang terpampang di layar raksasa LCD menandai besar-besar catatannya
(berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama seperti dengan
beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti
tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science'
sebelumnya.
Ruangan besar simposium fisika itu lengang, hanya suara pulpen
menggores kertas yang terdengar.
"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik
turun? Hadirin, jawabannya adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka peradaban
manusia persis seperti roda. Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya.
Ada suatu masa, ketika kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya,
manusia menguasai teknologi-teknologi hebat, lantas entah oleh apa, mungkin
karena peperangan, bencana alam, atau karena entahlah, di masa-masa
berikutnya kembali meluncur ke titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir
sejenak, siapa bilang ribuan tahun silam manusia masih primitif? Masih
boddoh? Tidak mengenal teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke
bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta religius yang tertulis indah di kitab
suci: Salah seorang sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin
yang mengenalnya dengan nama itu. Saya garis bawahi, saat itu, seorang
manusia, pernah bisa memindahkan dalam sekejap sepotong kursi dari satu titik
ke titik lainnya yang berjarak ratusan kilometer sebelum mata sempat berkedip!
Seorang manusia.”
“Spektakuler! Anda tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi
sehebat itu hari ini! Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan
peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun
itu wahana dan caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah
ketinggalan kaki, tangan, atau telinga—" Dalimunte menyeringai.
Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data.
Jaringan telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi
memindahkan fisik sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak
mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun
berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya dan kita sekadar
mempercayai kalau itu kondisi luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah
kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah.
Tentu saja ada penjelasan masuk akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada
penjelasan ilmiahnya, kita saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan
pemah tahu.
“Nah, masalahnya kenapa kita tidak mewarisi penjelasan penting
tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena peradaban, kemajuan teknologi itu
persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam, masa-masa itu, manusia
pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut, malah mungkin pernah
memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk menjelaskan
bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B
kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu pengetahuan itu kemudian
musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia kembali lagi ke titik
terendahnya....
“Analog dengan hal itu, dan akan dibuktikan dengan serangkaian
penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan jika saat dunia
menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan senjata-senjata hebat yang
ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia kembali ke peperangan
dengan tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional. Itu benar-benar
masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai translasi religius ini....
“Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah: oleh apa? Oleh apa kita
akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi canggih tersebut?
Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah poin
terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan
menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan
elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak. Tersenyum. Meraih gelas
besar di hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk. Membasahi
kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di langit-
langit ruangan. Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu
gagasan hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang
akan disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat Dalimunte telah
meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang terpampang di
layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte
malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang
memegang pointer layar LCD.
Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar.
"Maaf, sebentar—" Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta
simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil sekali. Dia punya dua telepon
genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang lazimnya
dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan
keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang
tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa?
Keliru. Bukan dari siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun:
ada apa? Apa yang sedang terjadi?
Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas.
Sedikit terburu-buru meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus
dengan SMS? Jika penting bukankah bisa langsung menelepon? Itu berarti
Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak pandai benar berbicara lewat
HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak menatap layar HP, Dalimunte
gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap membaca kalimatnya.
Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam lagi satu detik. Dua
detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan
speaker. "Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. Seketika.
Gaduh. Seruan-seruan kecewa.
Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si
moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba
bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut
mendekat, ingin tahu. Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz
kamera wartawan yang sejak tadi rakus membungkus tubuhnya. Tidak peduli.
Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan istrinya yang
berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah keluar
dari ruangan. Bergegas.
Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium
internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?
BERSAMBUNG..,
BIDADARI-BIDADARI SURGA by Tere Liye
BAGIAN 3
"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir?
Hari kiamat? Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi
siapapun yang masih mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli
dari kitab suci agama manapun, berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu
sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan membahas soal mirip tidaknya, itu
urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang menjelaskan kalau
sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika terbaru
kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar
peperangan besar, yang dikenal beberapa agama lain dengan sebutan
Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan. Penguasaan wilayah.... Menarik.
Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin pernah melipat dahi,
bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai riwayat sahih
terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan dengan
pedang, dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan
menemukan berbagai translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan
satu.... Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari
ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit? Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir
jaman, bukankah seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran
konvensional? Berita tentang ulat-ulat yang dikirimkan dari langit? Keluarnya
dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh air sungai yang mereka lewati?
Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf jika ini terlalu
detail—" Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta simposium yang datang
dari sekutu Negara bersangkutan tidak terlalu berkeberatan dengan kalimat itu,
lebih asyik melihat layar LCD raksasa di depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal
senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan
Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai sudah! Bagaimana
mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa menggunakan teknologi
hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun, atau ribuan
tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata
saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua
tiga rudal berhulu nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau
jangan-jangan dua tiga ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa
membuat koloni pertama di Mars! Jangan-jangan maksud peperangan tersebut
adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan Ma'juj yang dikurung
di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini kita tidak tahu di
mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal
bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari bagaimana menafsirkan berbagai translasi religius ini, sepertinya kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan
tadi amat berlebihan, sejauh ini belum ada buktinya. Kabar peperangan besar
tersebut sepertinya memang akan sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu.
Saya menyimpulkan demikian: sesederhana itu...”
“Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak digunakan
saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah
diakumulasi beratus-ratus tahun oleh manusia? Apakah seolah-olah kemajuan
ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika hari kiamat tiba,
peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apa adanya?" Dalimunte
diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium dengan berbagai
pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak. Terus menyajikan
dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda dari berbagai kitab suci lainnya.
Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu mengerti transkripsi religius
yang terpampang di layar raksasa LCD menandai besar-besar catatannya
(berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama seperti dengan
beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti
tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science'
sebelumnya.
Ruangan besar simposium fisika itu lengang, hanya suara pulpen
menggores kertas yang terdengar.
"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik
turun? Hadirin, jawabannya adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka peradaban
manusia persis seperti roda. Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya.
Ada suatu masa, ketika kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya,
manusia menguasai teknologi-teknologi hebat, lantas entah oleh apa, mungkin
karena peperangan, bencana alam, atau karena entahlah, di masa-masa
berikutnya kembali meluncur ke titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir
sejenak, siapa bilang ribuan tahun silam manusia masih primitif? Masih
boddoh? Tidak mengenal teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke
bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta religius yang tertulis indah di kitab
suci: Salah seorang sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin
yang mengenalnya dengan nama itu. Saya garis bawahi, saat itu, seorang
manusia, pernah bisa memindahkan dalam sekejap sepotong kursi dari satu titik
ke titik lainnya yang berjarak ratusan kilometer sebelum mata sempat berkedip!
Seorang manusia.”
“Spektakuler! Anda tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi
sehebat itu hari ini! Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan
peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun
itu wahana dan caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah
ketinggalan kaki, tangan, atau telinga—" Dalimunte menyeringai.
Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data.
Jaringan telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi
memindahkan fisik sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak
mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun
berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya dan kita sekadar
mempercayai kalau itu kondisi luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah
kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah.
Tentu saja ada penjelasan masuk akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada
penjelasan ilmiahnya, kita saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan
pemah tahu.
“Nah, masalahnya kenapa kita tidak mewarisi penjelasan penting
tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena peradaban, kemajuan teknologi itu
persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam, masa-masa itu, manusia
pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut, malah mungkin pernah
memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk menjelaskan
bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B
kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu pengetahuan itu kemudian
musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia kembali lagi ke titik
terendahnya....
“Analog dengan hal itu, dan akan dibuktikan dengan serangkaian
penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan jika saat dunia
menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan senjata-senjata hebat yang
ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia kembali ke peperangan
dengan tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional. Itu benar-benar
masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai translasi religius ini....
“Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah: oleh apa? Oleh apa kita
akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi canggih tersebut?
Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah poin
terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan
menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan
elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak. Tersenyum. Meraih gelas
besar di hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk. Membasahi
kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di langit-
langit ruangan. Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu
gagasan hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang
akan disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat Dalimunte telah
meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang terpampang di
layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte
malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang
memegang pointer layar LCD.
Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar.
"Maaf, sebentar—" Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta
simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil sekali. Dia punya dua telepon
genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang lazimnya
dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan
keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang
tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa?
Keliru. Bukan dari siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun:
ada apa? Apa yang sedang terjadi?
Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas.
Sedikit terburu-buru meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus
dengan SMS? Jika penting bukankah bisa langsung menelepon? Itu berarti
Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak pandai benar berbicara lewat
HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak menatap layar HP, Dalimunte
gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap membaca kalimatnya.
Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam lagi satu detik. Dua
detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan
speaker. "Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. Seketika.
Gaduh. Seruan-seruan kecewa.
Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si
moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba
bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut
mendekat, ingin tahu. Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz
kamera wartawan yang sejak tadi rakus membungkus tubuhnya. Tidak peduli.
Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan istrinya yang
berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah keluar
dari ruangan. Bergegas.
Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium
internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?
BERSAMBUNG..,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar