Pages - Menu

Pages

Kamis, 05 April 2012

==> http://www.facebook.com/notes/maiya-azyzaa/novel-bidadari-bidadari-surga-bagian-5/247947471954369

BIDADARI-BIDADARI SURGA by Tere Liye
BAGIAN 5
PENGUASA ANGKASA

DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang
oleh cahaya. Di sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara
berkabut. Putih membungkus puncak Semeru. Pemandangan luas menghampar
begitu memesona. Tebaran halimun yang indah. Empat gunung di sekitarnya
terlihat menjulang tinggi, mengesankan melihatnya. Berbaris. Gunung Bromo.
Tengger. Merbabu. Seperti serdadu. Uap mengepul dari kawah Semeru. Angin
mendesing lembut. Samudera Indonesia memperelok landsekap, terlihat
terbentang nun jauh di sana. Membiru. Sungguh pemandangan yang hebat.
Tangan yang memegang teropong binokuler berkekuatan zoom 25 kali itu
sedikit gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu menjejak 4 derajat celcius di atas sini,
ketinggian 3150 meter dpl (di atas permukaan laut). Jaket tebal yang
membungkus, topi lebar, slayer besar tak membantu banyak. Hanya karena
terbiasa dan antusiasme tak terbilanglah yang membuat gadis berumur 34 tahun
itu tetap bertahan dari tadi shubuh persis di tubir kawah Semeru. Mukanya
seolah tidak peduli dengan dinginnya pagi, malah menyeringai oleh senyum
senang. Mata hitam indahnya bercahaya. Wajah cantik itu amat bersemangat.
Rambut panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin pagi....
Ia sudah lama menunggu kesempatan ini. Dingin dan sukarnya trek terjal
pegunungan bukan masalah. Ia menguasai medan sulit seperti ini sejak kedl.
Dulu, sejak ingusan, ia belajar langsung dari jagonya.
"Arah pukul dua belas! Arah pukul dua belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru
tertahan.
"Mana? Di mana?"
"Lima belas meter dari bibir kawah. Dinding dekat batu cokelat! Batu
cokelat, bukan yang hitam." Gadis itu berbisik antusias ke teman-teman di
belakangnya, berusaha mengendalikan volume suaranya.
"Mana? Di mana?" Dua rekannya, cowok-cewek, dengan usia tidak beda,
dengan pakaian sama tebalnya bertanya lagi sambil beringsut mendekat.
Mengarahkan binokuler masingmasing ke arah yang ditunjuk gadis satunya
barusan.
"Batu besar arah jam dua belas! Batu besar cokelat—"
"Batu besar? Cokelat?"
"PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu sempurna sudah memecah hening
puncak Semeru. Bagai menguak kabut. Bagai membelah halimun. Membuat
wajah-wajah sontak tertoleh, mendongak.
"PKAAAK!" Sekali lagi membuncah pagi.
"Terbang! Ada yang terbang."
"Di mana? Di mana?"
"Arah pukul delapan. Di atas. Di atas, sebelah kiri!"
Gadis yang duduk paling depan, yang membungkuk di tubir kawah
Semeru itu berseru semakin tertahan. Wajahnya semakin antusias. Berbinar-
binar senang. Binokuler ditangannya bergerak gesit. Rambut panjangnya
bergerak anggun. Zoom in. Teropong model canggih itu berdesing oleh perintah
auto focus.
Persis di atas mereka, seekor burung alap-alap kawah gunung, dengan
bentang sayap berukuran 45 cm, bagai pesawat falcon, mungkin juga F-14
menderu melesat. Bukan main. Sempurna seperti sedang menyibak gumpalan
putih kabut. Bicara soal kecepatan dan manuver terbang, sumpah tidak ada
yang mengalahkan Peregrin, inilah sang penguasa kawah gunung. Bukan elang.
Bukan garuda. Bukan pula Rajawali. Tapi alap-alap (kawah). Merekalah
penguasa langit sejati. Burung yang hidup di tempat tertinggi di dunia. Di
tempat paling eksotis di seluruh muka bumi. Yang mampu terbang hingga ke
ketinggian pesawat terbang.
"PKAAAK!" Alap-alap kawah itu terbang melesat seolah hendak
menghujam ke dinding dekat gumpalan batu cokelat. Sarangnya!
Tiga orang yang mengawasi dari sisi lereng seberangnya melotot melalui
binokuler. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.
Gerakan tubuh alap-alap kawah itu persis bagai pesawat tempur yang
menyerbu. Dan sedetik sebelum tubuhnya seakan-akan hendak menghantam
dinding kawah, sayapnya terlipat ke belakang. Begitu anggun, begitu mulus,
kecepatannya berkurang dalam hitungan sepersekian detik. Lantas bagai
seorang ballerina sejati, sekejap, sudah mendarat sempurna. Perfecto!
Gadis yang duduk di depan menggigit bibir. Terpesona. Menghela nafas.
Sungguh pertunjukan atraksi alam yang spektakuler. Binokulernya mendesing.
Mode: full zoom in. Sekarang ia bisa melihat bulu leher Peregrin yang
kemerah-merahan seperti menatapnya dari jarak sedepa saja.
Kuku-kuku kaki tajam induk alap-alap kawah itu menggenggam mangsa
yang baru didapatnya pagi ini. Tiga ekor anaknya menyembul dari dalam
sarang. Ber-pkak, pkak lemah, meski riang. Paruh yang terjulur. Warna emas
itu. Positif! Tidak salah lagi!
"Ya Allah! Itu jelas-jelas Peregrin varian baru! Jenis baru.... Ini, ini berarti
Bidadari-Bidadari Surga Bidadari-Bidadari Surga
Editor By. I-One Editor By. I-One
Gold Level untuk bantuan penelitian kita. Thanks, God! Akhirnya. Akhirnya!
Seratus ribu dollar Amerika untuk konservasi mereka...." Gadis yang duduk
paling depan itu tertawa lebar, melepas teropong binokuler dari wajahnya.
Terlihat amat senang. Lega. Menghempaskan pantatnya ke bebatuan. Dua
temannya ikut mengangguk-angguk beberapa detik kemudian. Sepakat soal
varian baru tersebut setelah melihatnya lebih jelas dengan binokuler masing-
masing. Ikut tertawa lega.
Yashinta nama gadis itu. Team leader kelompok penelitian kecil burung
dan mamalia endemik. Selain peneliti dari lembaga penelitian dan konservasi
nasional di Bogor, ia juga koresponden foto National Geographic.
Mengumpulkan foto-foto alam yang indah dan insightfull untuk majalah itu.
Pagi ini, setelah berkutat seminggu di puncak Semeru, mereka akhirnya
berhasil menemukan sarang burung langka tersebut. Awal yang baik dari riset
berbulan-bulan ke depan untuk memetakan perangai dan tingkah-laku alap-alap
kawah varian baru. Proyek konservasi jangka panjang.
Yashinta meraih kamera SLR di tas pinggangnya. Senyum riang itu tak
kunjung lepas dari wajah memerahnya. Ini akan jadi foto yang hebat, desisnya
senang. Bisa jadi photo cover majalah. Membuka lensa kamera. Bersiap
mengambil foto induk Peregrin yang sedang memberi sarapan tiga anaknya.
Saat itulah, saat Yashinta sibuk mengarahkan lensa 600/6.4 mm, lensa dengan
kemampuan merekam tahi lalat di pipi soseorang dari jarak seratus meter,
telepon genggam satelit yang ada disaku celana gunungnya mendadak
berdengking-dengking.
Kedua temannya menoleh. "Ssst!" Menyeringai mengingatkan. Mana
boleh bersuara saat mereka mengamati burung. Lihatlah, meski jarak mereka
nyaris lima puluh meter dengan sarang alap-alap kawah, induk burung itu
mendadak menoleh. Terganggu.
Yashinta nyengir, maaf, buru-buru meraih HP-nya.
Yang berdengking adalah HP satelit urusan keluarga, yang selalu ia bawa
kemanapun pergi. Tiba-tiba jantung gadis itu berdetak lebih kencang. Dari
siapa? Ah-bukan, bukan itu pertanyaan tepatnya, tapi ada apa? Apa yang
terjadi? S-M-S? Itu pasti Mamak. Bukankah Mamak tidak pernah
menggunakan HP-nya? Tidak pernah terbiasa? Yang lain pasti selalu
menelepon. Kenapa pagi ini tiba-tiba Mamak mengirimkan SMS? Sedikit
terburu-buru Yashinta menekan tombol oke. Terbata membaca pesan 203
karakter tersebut. Seketika, hilang sudah senyum riang itu.
Seketika hilang sudah wajah menggemaskan kemerahan terbakar cahaya
matahari pagi di puncak Semeru itu. Yashinta dengan tangan bergetar
menurunkan kamera canggih SLR-nya. Menelan ludah, menyeka dahi, lantas
berbisik lemah, "Aku harus pulang! Aku harus pulang!"
Senyap. Gumpalan kabut yang membungkus puncak Semeru mendadak
membungkus sepi. Yashinta sudah bergegas turun dari tubir kawah. Sambil
jalan, sembarangan memasukkan peralatan ke dalam ransel. Tidak peduli
tatapan terperangah dua temannya. Tidak peduli dua ekor Peregrin lainnya
dengan anggun terbang mendekat ke sarang di batu cokelat. Tidak peduli.
Apalagi pemandangan hebat dari puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu.
Yashinta berlarian menuruni lereng terjal.
Pulang. Ia harus segera pulang!
Itu pasti Kak Laisa! Itu pasti Kak Laisa! Yashinta menyeka matanya yang
mendadak basah, sambil terisak menangis, meluncur menuruni cadas bebatuan
secepat kakinya bisa.
Bergegas....

BERSAMBUNG..,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar